Minggu, 03 Mei 2015

Butiran Es Kosmis Mengawali Proses Menuju Blok Bangunan DNA dan Asam Amino

Jumat, 1 Maret 2013 -

Dengan menggunakan teknologi baru pada teleskop dan yang ada di laboratorium, para peneliti menemukan sepasang molekul prebiotik penting di ruang antarbintang. Penemuan ini menunjukkan bahwa beberapa bahan kimiadasar yang merupakan langkah-langkah kunci menuju ke kehidupan mungkin telah terbentuk pada butiran es berdebu yang mengambang di antara bintang-bintang.
Para ilmuwan menggunakan Teleskop Green Bank milik National Science Foundation di West Virginia untuk mempelajari awan gas raksasa berjarak sekitar 25.000 tahun cahaya dari bumi, dekat dengan pusat Galaksi Bima Sakti kita. Bahan kimia yang mereka temukan pada awan tersebut meliputi suatu molekul yang diduga menjadi pelopor bagi komponen kunci DNA dan lainnya yang mungkin berperan dalam pembentukan asam amino alanin.
Molekul yang baru ditemukan itu, disebut cyanomethanimine, merupakan salah satu langkah dalam proses yang diyakini memproduksi adenin, satu dari empat nukleobasa yang membentuk “anak tangga” dalam struktur seperti-tangga DNA. Molekul lainnya, disebut ethanamine, diduga berperan dalam membentuk alanin, satu dari dua puluh asam amino dalam kode genetik.
Teleskop Green Bank dan molekul-molekul yang sudah ditemukan. (Kredit: Bill Saxton, NRAO/AUI/NSF)
“Penemuan molekul-molekul dalam awan gas antarbintang ini mengindikasikan bahwa blok bangunan yang penting bagi DNA dan asam amino dapat menebar ke planet yang baru terbentuk, bersama dengan prekursor-prekursor kimiawi untuk kehidupan,” tutur Anthony Remijan dari National Radio Astronomy Observatory.
Pada masing-masing kasus, kedua molekul yang baru ditemukan itu merupakan tahap peralihan dalam proses kimiawi multi-langkah yang mengarah ke molekul biologis akhir. Rincian proses-prosesnya belum sepenuhnya jelas, namun penemuan ini menyediakan wawasan baru tentang di mana proses-proses itu terjadi.
Sebelumnya, para ilmuwan menduga proses tersebut berlangsung dalam gas yang sangat tipis di antara bintang-bintang. Namun penemuan baru menunjukkan bahwa urutan pembentukan kimiawi untuk molekul-molekul itu tidak terjadi di dalam gas, melainkan pada permukaan butiran es di ruang antarbintang.
Struktur cyanomethanimine, molekul yang baru ditemukan dalam ruang antarbintang. Biru=nitrogen, abu-abu=karbon, putih=hidrogen. (Kredit: NRAO/AUI/NSF)
“Kami perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih memahami cara kerja reaksi-reaksinya, tapi beberapa langkah kunci pertama yang mengarah ke bahan-bahan kimia biologis bisa saja terjadi pada butiran es kecil,” kata Remijan.
Penemuan ini bisa terwujud dengan adanya teknologi baru yang mempercepat proses mengidentifikasi “sidik jari” bahan kimia kosmik. Masing-masing molekul memiliki satu set rotasi tertentu yang menandakan dapat diintepretasi. Saat terjadi perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain, sejumlah energi tertentu dipancarkan atau diserap, seringkali sebagai gelombang radio pada frekuensi tertentu yang dapat diamati dengan Teleskop Green Bank.
Struktur adenin, suatu komponen DNA. (Kredit: NRAO/AUI/NSF)
Teknik laboratorium terbaru memungkinkan para astrokimiawan mengukur pola karakteristik dari frekuensi radio untuk molekul tertentu. Berbekal informasi itu, mereka kemudian dapat menyesuaikan polanya dengan data yang diperoleh dari teleskop. Perangkat laboratorium di University of Virginia dan Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics mengukur emisi radio dari cyanomethanimine danethanamine, kemudian pola frekuensi dari kedua molekul itu dicocokkan dengan data publik hasil survei yang dilakukan dengan Teleskop Green Bank dari tahun 2008 hingga 2011.
Sebuah tim mahasiswa yang berpartisipasi dalam program riset musim panas spesial, yang diperuntukkan bagi para mahasiswa minoritas di University of Virginia (U.Va.), mengerjakan beberapa percobaan yang mengarah pada penemuan cyanomethanimine. Para mahasiswa ini bekerja di bawah arahan profesor U.Va. Brooks Pate, Ed Murphy, dan Remijan. Program yang didanai National Science Foundation ini, membawa para mahasiswa dari empat perguruan tinggi untuk mengalami penelitian musim panas tersebut. Mereka bekerja di laboratorium astrokimia milik Pate, lengkap dengan data dari Teleskop Green Bank.
“Ini adalah penemuan yang cukup istimewa dan membuktikan bahwa para mahasiswa awal-karir dapat melakukan penelitian yang luar biasa,” ujar Pate.
Kredit: National Radio Astronomy Observatory
Jurnal: Daniel P. Zaleski, Nathan A. Seifert, Amanda L. Steber, Matt T. Muckle, Ryan A. Loomis, Joanna F. Corby, Oscar Martinez, Kyle N. Crabtree, Philip R. Jewell, Jan M. Hollis, Frank J. Lovas, David Vasquez, Jolie Nyiramahirwe, Nicole Sciortino, Kennedy Johnson, Michael C. McCarthy, Anthony J. Remijan, Brooks H. Pate. DETECTION OF E-CYANOMETHANIMINE TOWARD SAGITTARIUS B2(N) IN THE GREEN BANK TELESCOPE PRIMOS SURVEYThe Astrophysical Journal, 2013; 765 (1): L10 DOI: 10.1088/2041-8205/765/1/L10

Kecerdasan Koloni Semut

Minggu, 6 Maret 2011 -

Seekor semut adalah mahluk yang bodoh, ukurannya kecil dan tidak mampu melihat jauh. Dilihat dari ukurannya, lansekap dimana ia bergerak ke mana-mana mestilah sangat tidak beraturan baginya. Lalu bagaimana semut dalam koloni semut mampu menemukan makanan dengan cepat dan umumnya lewat rute terpendek, ketimbang fakta kalau tidak satupun memberikan perintah operasi?
Kembali, ini adalah masalah feromon dan kecerdasan gerombolan. Sebuah koloni semut adalah mesin pemproses paralel yang mengesankan. Kevin Kelly mengatakan : “Semut adalah masa lalu organisasi sosial dan masa depan komputer.” Semut berfungsi secara mandiri dan serempak serta berkomunikasi satu sama lain ‘tanpa sadar’ lewat feromon.
Sejumlah semut perintis dilepas untuk mencari makanan, pergi ke berbagai arah secara mandiri dan acak. Mereka terus menerus melepaskan feromon baik saat pergi dari sarang maupun kembali. Dengan cara ini, jejak yang digunakan oleh banyak semut akan memiliki aroma feromon yang kuat. Feromon adalah zat yang menguap sangat lambat sehingga waktu peluruhan jejak semut sangat panjang.
Semut robot buat Mars. Kitik kitik...
Anggap satu ekor semut secara tidak sengaja menemukan jalan berguna terpendek menuju makanan. Katakanlah jalur A. Lalu ia akan mampu menemui makanan dan kembali dengan jalur yang sama dalam waktu terpendek, dibandingkan dengan semut lain yang tidak menempuh rute ini. Perjalanan pergi dan pulang sepanjang jalur A akan menghasilkan kekuatan feromon dua kali lipat, dibandingkan jalur yang dua kali lebih panjang. Berbagai semut dapat melewati berbagai jalur dan jalur-jalur ini dapat berpotongan. Pada persimpangan dimana banyak jalur berpotongan, semut memilih jalur yang mengeluarkan bau paling kuat, dan karenanya memperkuat bau jalur itu sendiri (hukum kembalian menanjak atau umpan balik positif).
Kemunculan paksa mandiri jalur optimum ini adalah contoh dari AUTOKATALISIS, dan ia hanyalah satu contoh dari berbagai proses pembentukan pola dalam sistem kompleks.
Logika Semut
Penyelidikan satu tipe sistem kompleks dapat memberikan petunjuk pada apa yang dapat terjadi dalam sistem kompleks lainnya. Kasus yang paling jelas adalah : Bagaimana memahami kecerdasan manusia sebagai sejenis kecerdasan gerombolan. Kecerdasan manusia muncul dari interaksi antar sel syaraf, padahal kenyataannya tiap sel syaraf itu bodoh sebodoh-bodohnya.
Diterjemahkan dari
Vinod Kumar Wadhawan. 2009. Complexity Explained.
Referensi lanjut
  1. J. Doyne Farmer dan Alletta Bellini. 1991. Artificial Life: The Coming Evolution. Dalam Artificial Life II, SFI Studies in the Sciences of Complexity, vol. X, disunting oleh C.G. Langton, C. Taylor, J.D. Farmer dan S. Resmussen, Addison-Wesley.
  2. Kevin Kelly, 1995. Out of Control: The New Biology of Machines, Social Systems, and the Economic World. Basic Books.
  3. M. Dorigo and T. Stützle. Ant Colony Optimization. MIT Press, Cambridge, MA, 2004

Pengamatan Sepasang Bintang Langka Hasilkan Jarak yang Lebih Akurat ke Galaksi Terdekat

Kamis, 7 Maret 2013 -

Setelah melakukan pengamatan cermat selama hampir satu dekade, tim astronom internasional mengukur jarak ke galaksi tetangga kita, Large Magellanic Cloud, dengan hasil lebih akurat daripada sebelumnya. Pengukuran baru ini juga menambah pengetahuan kita tentang laju ekspansi alam semesta – Konstan Hubble – sekaligus menjadi langkah penting ke arah pemahaman sifat alam kemisteriusan energi gelap yang menyebabkan percepatan ekspansi. Tim riset menggunakan teleskop ESO di Observatorium La Silla, Chile, serta telekop-teleskop lainnya di seluruh dunia. Hasilnya dimunculkan dalam edisi 7 Maret 2013 jurnal Nature.
Para astronom mensurvei skala alam semesta dengan terlebih dahulu mengukur jarak ke objek-objek dekat dan kemudian menggunakannya sebagai lilin standar[1] untuk mengidentifikasi jarak yang lebih jauh dan lebih jauh hingga ke dalam kosmos. Namun rantai pengukuran ini hanya seakurat link yang paling lemah. Hingga kini, menemukan jarak yang akurat ke Large Magellanic Cloud (LMC), salah satu galaksi terdekat dengan Bima Sakti, terbukti sangat sulit. Mengingat bintang-bintang dalam galaksi itu berguna untuk memperbaiki skala jarak pada galaksi yang lebih jauh, maka pengukurannya sangatlah penting.
Ilustrasi artis ini menunjukkan sistem bintang biner gerhana. Karena saling mengorbit, kedua bintang sesekali melintas di depan satu sama lain sehingga, saat terjadi, gabungan kecerahan keduanya terlihat menurun dari kejauhan. Dengan mempelajari perubahan cahayanya, dan sifat-sifat lain dari sistem tersebut, astronom dapat mengukur jarak ke gerhana binari dengan sangat akurat. Serangkaian panjang pengamatan pada binari gerhana dingin yang sangat langka ini memungkinkan penentuan jarak yang paling akurat ke Large Magellanic Cloud, salah satu galaksi terdekat dengan Bima Sakti, dan menjadi langkah penting dalam penentuan jarak di seluruh alam semesta. (Kredit: ESO/L. Calçada)
Ilustrasi artis ini menunjukkan sistem bintang biner gerhana. Karena saling mengorbit, kedua bintang sesekali melintas di depan satu sama lain sehingga, saat terjadi, gabungan kecerahan keduanya terlihat menurun dari kejauhan. Dengan mempelajari perubahan cahayanya, dan sifat-sifat lain dari sistem tersebut, astronom dapat mengukur jarak ke gerhana binari dengan sangat akurat. Serangkaian panjang pengamatan pada binari gerhana dingin yang sangat langka ini memungkinkan penentuan jarak yang paling akurat ke Large Magellanic Cloud, salah satu galaksi terdekat dengan Bima Sakti, dan menjadi langkah penting dalam penentuan jarak di seluruh alam semesta. (Kredit: ESO/L. Calçada)
Namun pengamatan cermat terhadap kelas bintang ganda yang langka kini memungkinkan tim astronom mampu menyimpulkan nilai yang jauh lebih tepat untuk jarak LMC: 163 000 tahun cahaya.
“Saya sangat gembira, karena selama seratus tahun para astronom telah berupaya mengukur secara akurat jarak ke Large Magellanic Cloud, dan itu terbukti sangat sulit,” ujar Wolfgang Gieren dari Universidad de Concepción, Chile, salah satu pemimpin riset dalam tim, “Kini kami telah memecahkan masalah tersebut dengan memperlihatkan keakurasian hasil hingga 2%.”
Pengembangan dalam teknik pengukuran jarak ke Large Magellanic Cloud sekaligus menghasilkan jarak yang lebih baik bagi bintang-bintang variabel Cepheid[2]. Bintang pulsar yang terang benderang itu digunakan sebagai lilin standar untuk mengukur jarak ke galaksi yang lebih jauh, juga untuk menentukan tingkat ekspansi alam semesta – Konstan Hubble. Pada gilirannya ini merupakan dasar untuk mensurvei Semesta hingga ke galaksi paling jauh, sejauh yang mampu ditangkap dengan teleskop saat ini. Maka, jarak yang lebih akurat ke Large Magellanic Cloud dengan segera mengurangi ketidakakurasian dalam pengukuran jarak kosmologis baru-baru ini.
Foto ini menunjukkan Large Magellanic Cloud, galaksi terdekat dengan Bima Sakti. Posisi samar delapan bintang biner gerhana yang dingin ditandai dengan silang (objek-objek yang terlalu samar muncul secara langsung dalam gambar ini). Dengan mempelajari perubahan cahaya bintang-bintang tersebut, dan properti lain dari sistemnya, para astronom dapat mengukur jarak ke gerhana binari dengan sangat akurat. Serangkaian panjang pengamatan objek-objek itu menghadirkan penentuan yang paling akurat untuk jarak ke Large Magellanic Cloud - langkah penting dalam penentuan jarak di seluruh alam semesta. (Kredit: ESO/R. Gendler)
Foto ini menunjukkan Large Magellanic Cloud, galaksi terdekat dengan Bima Sakti. Posisi samar delapan bintang biner gerhana yang dingin ditandai dengan silang (objek-objek yang terlalu samar muncul secara langsung dalam gambar ini). Dengan mempelajari perubahan cahaya bintang-bintang tersebut, dan properti lain dari sistemnya, para astronom dapat mengukur jarak ke gerhana binari dengan sangat akurat. Serangkaian panjang pengamatan objek-objek itu menghadirkan penentuan yang paling akurat untuk jarak ke Large Magellanic Cloud – langkah penting dalam penentuan jarak di seluruh alam semesta. (Kredit: ESO/R. Gendler)
Para astronom menentukan jarak ke Large Magellanic Cloud dengan mengamati sepasang bintang langka, yang dikenal sebagai gerhana binari[3]. Karena saling mengorbit, kedua bintang itu sesekali melintas di depan satu sama lain. Saat lintasan itu terjadi, sebagaimana yang terlihat dari bumi, kecerahan total cahayanya menurun drastis, baik di saat salah satu bintangnya melintas di depan yang lain dan, pada kecerahan yang berbeda, saat bintang itu melintas di belakang[4].
Dengan melacak perubahan kecerahannya secara sangat hati-hati, dan juga mengukur kecepatan orbital kedua bintang, maka bisa dimungkinkan untuk menentukan seberapa besar ukuran bintang, massa-nya serta informasi lain terkait orbitnya. Saat data ini dikombinasikan dengan pengukuran cermat terhadap kecerahan total dan warna kedua bintang[5], maka hasil jarak yang sangat akurat bisa diperoleh.
Metode ini sudah pernah digunakan sebelumnya, namun dilakukan pada bintang-bintang yang panas. Bagaimanapun, asumsi-asumsi tertentu sudah terlanjur dibuat untuk hal ini dan jarak-jarak yang dihasilkan tidak seakurat yang diinginkan. Tapi kini, untuk pertama kalinya, delapan binari gerhana yang sangat langka, di mana kedua bintangnya merupakan bintang raksasa merah yang lebih dingin, telah berhasil teridentifikasi[6]. Bintang-bintang tersebut telah dipelajari dengan sangat teliti dan menghasilkan nilai jarak yang jauh lebih akurat — akurasi hingga sekitar 2%.
“ESO menyediakan kehandalan teleskop dan instrumen yang sempurna bagi pengamatan yang dibutuhkan dalam proyek ini: HARPS untuk kecepatan radial yang sangat akurat terhadap bintang-bintang yang relatif redup, serta SOFI untuk mengukur secara tepat seberapa terang bintang-bintang yang nampak dalam inframerah,” tambah Grzegorz Pietrzynski dari Universidad de Concepción, Chili, dan Observatorium Universitas Warsawa, Polandia, penulis utama dalam makalah di Nature.
“Kami tengah bekerja dalam meningkatkan metode kami lebih jauh dan berharap memiliki jarak LMC 1% segera dalam beberapa tahun ke depan. Ini memiliki konsekuensi pencapaian yang luas, tidak hanya bagi kosmologi, tapi juga bagi berbagai bidang astrofisika,” simpul Dariusz Graczyk, penulis kedua dalam makalah.
Keterangan:
[1] Standar lilin adalah kecerahan cahaya dari objek yang diketahui. Dengan mengamati seberapa terang suatu objek, membantu para astronom menentukan jaraknya — objek yang lebih jauh memiliki kecerahan yang lebih redup. Contoh lilin standar adalah variabel Cepheid[2] dan supernova Tipe Ia. Kesulitan besarnya adalah mengkalibrasi skala jarak dengan cara mencari contoh-contoh yang relatif dekat dengan objek, di mana jaraknya dapat ditentukan dengan cara lain.
[2] Variabel Cepheid adalah bintang terang yang tidak stabil, berdenyut dan memiliki kecerahan yang bervariasi. Namun terdapat hubungan yang sangat jelas antara seberapa cepat bintang itu berubah dan seberapa terang cahayanya. Cepheid yang berdenyut cepat lebih redup dibanding yang berdenyut lambat. Hubungan periode-kecerahan ini memungkinkan bintang-bintang berguna sebagai lilin standar untuk mengukur jarak galaksi-galaksi terdekat.
[3] Riset ini merupakan bagian dari Araucaria Project jangka panjang untuk mengembangkan pengukuran jarak ke galaksi-galaksi terdekat.
[4] Variasi cahaya yang tepat tergantung pada besarnya bintang, temperatur dan warnanya serta rincian orbitnya.
[5] Warna diukur dengan membandingkan kecerahan bintang-bintang pada berbagai panjang gelombang inframerah.
[6] Bintang-bintang yang ditemukan dengan menelusuri 35 juta bintang LMC telah diteliti oleh proyek OGLE.
Kredit: European Southern Observatory – ESO
Jurnal: G. Pietrzynski, D. Graczyk, W. Gieren, I. B. Thompson, B. Pilecki, A. Udalski, I. Soszynski, S. Kozlowski, P. Konorski, K. Suchomska, G. Bono, P. G. Prada Moroni, S. Villanova, N. Nardetto, F. Bresolin, R. P. Kudritzki, J. Storm, A. Gallenne, R. Smolec, D. Minniti, M. Kubiak, M. K. Szymanski, R. Poleski, L. Wyrzykowski, K. Ulaczyk, P. Pietrukowicz, M. Górski, P. Karczmarek. An eclipsing-binary distance to the Large Magellanic Cloud accurate to two per centNature, 2013; 495 (7439): 76 DOI:10.1038/nature11878

Dalam Dunia Kuantum, Berlian Berkomunikasi Satu Sama Lain

Jumat, 2 Desember 2011 -

Para peneliti yang bekerja di Laboratorium Clarendon di Universitas Oxford, Inggris, telah berhasil membuat satu berlian kecil berkomunikasi dengan berlian kecil lainnya dengan memanfaatkan “keterikatan kuantum”, salah satu fitur yang menggugah dalam fisika kuantum.
Keterikatan (entanglement) telah terbukti sebelumnya, namun apa yang membuat percobaan Oxford menjadi unik adalah konsepnya yang ditunjukkan dengan benda padat yang cukup besar pada suhu ruangan.
Keterikatan materi sebelumnya melibatkan partikel submikroskopik, seringkali pada suhu yang dingin.
Percobaan ini menggunakan berlian berskala milimeter, “bukan atom individu, bukan awan gas,” kata Ian Walmsley, profesor fisika eksperimental di Laboratorium Clarendon Oxford, salah satu tim peneliti internasional.
Percobaan ini dilaporkan dalam Science edisi minggu ini.
Ketika memberi kejutan listrik pada satu berlian buatan dengan pulsa laser ultra-pendek, mereka berhasil mengubah getaran berlian kedua yang terletak sejauh setengah kaki tanpa sedikitpun menyentuhnya.
“Keterikatan” berasal dari pikiran Albert Einstein, yang ironisnya hadir dengan gagasan untuk mencoba menyanggah mekanika kuantum, cabang fisika yang tidak ia yakini sepanjang hidupnya.
Berdasarkan teori ini, jika dua partikel, misalnya elektron, diciptakan bersamaan, beberapa atribut mereka akan menjadi “terikat”. Jika keduanya kemudian dipisahkan, dengan melakukan sesuatu pada yang satu, maka itu akan langsung mempengaruhi yang lainnya. Ini akan terjadi entah posisi mereka berdampingan satu sama lain ataupun terpisah jauh di alam semesta.
Sebagai contoh, elektron bertindak seolah-olah mereka memiliki magnet bar kecil yang mengarah ke atas atau bawah, digambarkan dengan sebuah atribut yang disebut “spin”. Jika kedua elektron saling terikat lewat spin mereka – atas atau bawah – dan ilmuwan mengukur spin yang satu, maka spin yang lain akan bereaksi, bahkan sekalipun yang satu berada di atas meja laboratorium di Oxford dan yang lainnya berada di sebuah planet dekat bintang Antares sejauh 1.000 tahun cahaya.
Ini bisa mengindikasikan bahwa, informasi tentang perubahan ini melakukan perjalanan yang lebih cepat dari kecepatan cahaya – yang Einstein katakan adalah tidak mungkin – atau jarak jauhnya adalah semacam ilusi.
Einstein menyebutnya sebagai “aksi seram di kejauhan”. Fisikawan Jerman Erwin Schrodinger menggunakan istilah “keterikatan” dalam secarik surat kepada Einstein. Dia pun tidak meyakini mekanika kuantum.
“Saya rasa saya bisa katakan bahwa tak ada seorangpun yang memahami mekanika kuantum,” jelas fisikawan Richard Feynman.
Meskipun demikian, mekanika kuantum kini merupakan paradigma bagi alam pada tingkat atom. Ini berfungsi sebagai dasar pada banyak teknologi modern, dari laser hingga transistor. Dan keterikatan hadir sebagai bagian dari paketnya. Para fisikawan telah menunjukkannya dalam laboratorium sejak tahun 1980-an, dan tengah digunakan dalam ekperimen laboratorium dengan blok-blok bangunan komputer kuantum.
Berlian yang digunakan Walmsley dan tim internasional berukuran sekitar 3 milimeter persegi dengan ketebalan 1 milimeter.
“Kami menggunakan laser pulsa pendek dengan durasi pulsa sekitar 100 femto-detik (seper satu detik),” katanya.
Mereka memilih berlian karena merupakan kristal, sehingga lebih mudah mengukur getaran molekulnya, dan karena transparan pada panjang gelombang yang terlihat. Cahaya dari laser mengubah semacam getaran massa dalam kristal berlian yang disebut fonon, dan pengukuran menunjukkan bahwa mereka terikat: Getaran berlian yang kedua bereaksi terhadap apa yang terjadi pada getaran yang pertama.
Dengan melakukan percobaan dengan pulsa laser yang ultra-cepat, memungkinkan para peneliti menangkap keterikatan, yang biasanya sangat berlangsung cepat pada benda-benda besar dalam suhu kamar.
“Ini tetap merupakan cara berpikir yang berlawanan tentang objek,” aku Walmsley.
“Ini adalah potongan kerja yang sangat bagus dan cerdas dengan implikasi yang berpotensi besar,” kata Sidney Perkowitz, seorang fisikawan di Universitas Emory di Atlanta, dan penulis “Slow Light: Invisibility, Teleportation and Other Mysteries of Light”, buku yang sebagian membahas tentang keterikatan. Ukuran makroskopik, dan fakta bahwa hal ini dilakukan pada suhu kamar, akan menjadi langkah penting menuju teknologi kuantum praktis untuk telekomunikasi dan komputasi, dan ke arah pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana dunia kuantum dan dunia skala-manusia saling terkait.”
Kredit: Universitas Oxford
Jurnal: K. C. Lee, M. R. Sprague, B. J. Sussman, J. Nunn, N. K. Langford, X.-M. Jin, T. Champion, P. Michelberger, K. F. Reim, D. England, D. Jaksch, I. A. Walmsley. Entangling Macroscopic Diamonds at Room TemperatureScience, 2 December 2011: Vol. 334 no. 6060 pp. 1253-1256. DOI:10.1126/science.1211914

FeTRAM: Teknologi Memori Komputer yang Menjanjikan

Rabu, 28 September 2011 -

Para peneliti tengah mengembangkan sebuah jenis baru memori komputer yang bisa lebih cepat daripada memori komersial yang ada saat ini dan penggunaan listrik yang jauh lebih sedikit dari perangkat memori flash.
Teknologi ini mengkombinasikan kawat nano silikon dengan polimer “feroelektrik”, bahan yang mengaktifkan polaritas ketika medan listrik dialirkan, memungkinkan tipe baru dari transistor feroelektrik.
“Ini dalam tahap yang masih sangat baru,” kata mahasiswa doktoral Saptarshi Das, yang bekerja sama dengan Joerg Appenzeller, seorang profesor teknik elektro dan komputer dan direktur ilmiah nanoelektrik di Pusat Nanoteknologi Purdue Birck.
Diagram ini menunjukkan tata letak jenis baru memori komputer yang bisa lebih cepat daripada memori komersial yang ada saat dan penggunaan daya listrik yang jauh lebih sedikit dari perangkat memori flash. (Kredit: Pusat Nanoteknologi Birck, Universitas Purdue)
Transistor feroelektrik yang mengubah polaritas dibaca sebagai 0 atau 1, operasi yang diperlukan bagi sirkuit digital untuk menyimpan informasi dalam kode biner yang terdiri dari urutan satu dan nol. Teknologi baru ini disebut FeTRAM, untuk memori transistor feroelektrik akses acak.
“Kami telah mengembangkan teori serta melakukan eksperimen dan juga menunjukkan cara kerjanya dalam sebuah sirkuit,” katanya. Temuan yang rinci dalam makalah penelitian ini muncul dalam Nano Letters, dipublikasikan oleh American Chemical Society.
Teknologi FeTRAM memiliki penyimpanan non-volatile, artinya ini tetap berada di dalam memori meski komputer sudah dimatikan. Perangkatnya bisa berpotensi menggunakan energi 99 persen lebih rendah dari memori flashchip penyimpanan komputer non-volatile dan bentuk dominan memori di pasar komersial.
“Namun, perangkat kami sekarang ini masih mengkonsumsi daya lebih banyak karena skalanya masih kurang tepat,” kata Das. “Untuk teknologi FeTRAM generasi masa depan, salah satu tujuan utamanya adalah mengurangi disipasi daya listrknya. Mungkin juga akan jauh lebih cepat daripada bentuk lain memori komputer yang disebut SRAM.”
Teknologi FeTRAM memenuhi tiga fungsi dasar dari memori komputer: untuk menulis informasi, membaca informasi dan tahan dalam jangka waktu yang panjang.
“Anda ingin menyimpan memori selama mungkin, 10 hingga 20 tahun, dan Anda harus mampu membaca dan menulis sebanyak mungkin,” kata Das. “Ini juga harus berdaya listrik rendah agar laptop Anda tidak menjadi terlalu panas. Dan ini perlu diskala, artinya Anda bisa mengemas banyak perangkat ke area yang sangat kecil. Penggunaan kawat nano silikon bersama dengan polimer feroelektrik ini telah termotivasi oleh persyaratan-persyaratan tersebut.”
Teknologi baru ini juga kompatibel dengan proses industri manufaktur untuk semikonduktor oksida logam komplementer, atau CMOS, yang digunakan untuk memproduksi chip komputer. Ini memiliki potensi untuk menggantikan sistem memori konvensional.
Sebuah aplikasi paten telah diajukan untuk konsepnya.
FeTRAM mirip dengan memori akses acak feroelektrik, FeRAM, yang sedang digunakan secara komersial namun pasar semikonduktornya masih relatif kecil secara keseluruhan. Keduanya menggunakan bahan feroelektrik untuk menyimpan informasi secara non-volatile, namun tidak seperti FeRAM, teknologi baru ini memungkinkan pembacaan yang tidak destruktif, artinya informasi dapat dibaca tanpa menghilangkannya
Pembacaan non-destruktif ini dimungkinkan dengan menyimpan informasi  menggunakan transistor feroelektrik, bukan kapasitor, yang digunakan dalam FeRAM konvensional.
Pekerjaan ini didukung oleh Research Initiative Nanoteknologi (NRI) melalui Network for Computational Nanotechnology (NCN) Purdue, yang didukung oleh National Science Foundation.
Kredit: Purdue University
Jurnal: Saptarshi Das, Joerg Appenzeller. FETRAM. An Organic Ferroelectric Material Based Novel Random Access Memory CellNano Letters, 2011; 11 (9): 4003 DOI: 10.1021/nl2023993

Masa Lalu Bumi Memberi Petunjuk Perubahan-perubahan Masa Depan

Kamis, 24 November 2011 -

Para ilmuwan selangkah lebih dekat untuk bisa memprediksi kapan dan di mana gempa bumi akan terjadi setelah berfokus pada pembentukan Andes, yang dimulai 45 juta tahun yang lalu.
Dipublikasikan dalam jurnal Nature, penelitian yang dipimpin oleh Dr. Fabio Capitanio dari Sekolah Ilmu Bumi Universitas Monash ini menggambarkan pendekatan baru tentang lempeng tektonik. Ini adalah model pertama untuk melampaui penggambaran bagaimana lempeng bergerak, dan menjelaskan mengapa itu terjadi.
Dr. Capitanio mengatakan bahwa meskipun teori ini telah diterapkan hanya pada satu batas lempeng sejauh ini, namun ini adalah aplikasi yang lebih luas.
Dengan memahami kekuatan gerakan lempeng tektonik akan memungkinkan para peneliti memprediksi pergeseran dan konsekuensinya, termasuk pembentukan pegunungan, pembukaan dan penutupan lautan, serta gempa bumi.
Dr. Capitanio mengatakan bahwa teori yang ada tentang lempeng tektonik telah gagal menjelaskan beberapa fitur pengembangan rantai gunung terpanjang di dunia berbasis daratan, dan memotivasi dia untuk mengambil pendekatan yang berbeda.
“Kami tahu bahwa Andes dihasilkan dari subduksi satu lempengan, di bawah yang lainnya, namun banyak hal yang tidak dapat dijelaskan. Sebagai contoh, subduksi dimulai 125 juta tahun yang lalu, tapi pegunungan hanya mulai terbentuk 45 juta tahun yang lalu. Ketertinggalan inilah yang tidak dipahami,” kata Dr. Capitanio.
“Model yang kami kembangkan menjelaskan waktu pembentukan Andes dan fitur unik seperti kelengkungan rantai gunung.”
Dr. Capitanio mengatakan bahwa pendekatan tradisional terhadap lempeng tektonik, yang bekerja pada data, menghasilkan model dengan deskriptif yang kuat, tetapi tidak ada kekuatan prediktif.
“Model yang ada memungkinkan Anda menggambarkan pergerakan lempeng seperti yang terjadi, tetapi Anda tidak bisa mengatakan kapan pergerakan itu akan berhenti, atau apakah mereka akan mempercepat, dan sebagainya.
“Saya mengembangkan model fisika tiga-dimensi – saya menggunakan fisika untuk memprediksi perilaku lempeng tektonik. Kemudian, saya menerapkan data yang melacak Andes kembali hingga ke 60 juta tahun yang lalu. Ini begitu sesuai.”
Kolaborator pada proyek ini adalah Dr. Claudio Faccenna dari Universita Roma Tre, Dr. Sergio Zlotnik dari UPC-Barcelona Tech, dan Dr. David R Stegman dari University of California San Diego. Para peneliti akan terus mengembangkan model ini dengan menerapkannya pada zona-zona subduksi lainnya.
Kredit: Universitas Monash
Jurnal: F. A. Capitanio, C. Faccenna, S. Zlotnik, D. R. Stegman. Subduction dynamics and the origin of Andean orogeny and the Bolivian oroclineNature, 23 November 2011. DOI:10.1038/nature10596

Misteri Cuaca Ruang Angkasa Terpecahkan: Penemuan Link Antara Elektron dan Aurora Difus Atmosfer

Jumat, 22 Oktober 2010 -

Penelitian terbaru telah melunasi puluhan tahun debat ilmiah tentang aspek cuaca ruang angkasa yang membingungkan. Para peneliti dari Universitas California (UCLA) dan British Antarctic Survey (BAS) telah menemukan linkterakhir di antara elektron-elektron yang terperangkap di dalam ruang angkasa dan kemilau cahaya pada bagian atas atmosfer, yang dikenal sebagai aurora difus[1] (aurora menyebar).
Penelitian yang diterbitkan dalam edisi terbaru jurnal Nature ini, menjanjikan pemahaman terhadap cuaca ruang angkasa, beserta keuntungan-keuntungannya bagi satelit, jaringan listrik dan industri penerbangan, serta bagaimana badai ruang angkasa mempengaruhi atmosfer bumi, dari bagian atas hingga ke bawah.
Para ilmuwan telah lama memahami bahwa ‘aurora difus’ disebabkan oleh elektron yang melabrak bagian atas atmosfer. Namun, elektron biasanya jauh lebih tinggi terjebak di medan magnet bumi melalui rantai panjang peristiwa yang dimulai dari matahari. Masalahnya adalah memahami bagaimana elektron-elektron tersebut mencapai atmosfer.
Pencitraan satelit dari 'aurora difus' terlihat di atas Antartika di belahan bumi selatan. (Kredit: NASA)
Sejak 1970-an, para ilmuwan telah memperdebatkan apakah frekuensi sangat rendah (very low frequency -VLF) gelombang radio dapat menyebarkan elektron yang terjebak ke dalam atmosfir. Dua jenis gelombang VLF diidentifikasi dalam ruang angkasa sebagai penyebab yang mungkin akan timbulnya ‘aurora difus’, tetapi argumen dan penelitian selama bertahun-tahun tidak ada hasil yang konklusif. Penelitian terbaru, tanpa diragukan lagi, menunjukkan bahwa gelombang VLF yang dikenal sebagai ‘paduan suara’[2] adalah sebagai penyebabnya; disebut ‘paduan suara’ karena sinyal-sinyalnya yang terdeteksi oleh alat perekam suara berbasis darat, terdengar seperti paduan suara burung fajar ketika diputar ulang melalui pengeras suara.
Melalui analisis rinci data satelit, para penulis makalah mampu menghitung efek pada elektron yang terperangkap dan mengidentifikasi gelombang radio yang menyebabkan penyebaran tersebut.
Penulis utama, Profesor Richard Thorne dari UCLA, mengatakan: “Terobosan muncul ketika kami menyadari bahwa elektron yang tersesat dari ruang angkasa ke atmosfer bumi meninggalkan tanda alam, secara efektif bisa menceritakan tentang bagaimana mereka tersebar. Kami kemudian dapat menganalisis data satelit kami pada dua jenis gelombang VLF dan dengan menjalankan perhitungan pada mereka – termasuk tingkat di mana elektron tersesat ke dalam atmosfir bumi – kami dengan jelas bisa melihat bahwa gelombang paduan suara adalah penyebab penyebaran tersebut.”
'Aurora australis' (dikenal sebagai cahaya selatan) terlihat di Antartika. 'Aurora australis' tampak seperti tirai cahaya warna-warni yang berkibar dan dapat dilihat dengan mata telanjang.
Profesor Richard Horne dari British Antarctic Survey, mengatakan: “Temuan kami merupakan salah satu yang penting karena akan membantu ilmuwan untuk memahami bagaimana aurora difusi menyebabkan perubahan kimia pada bagian atas atmosfer, termasuk efek pada ozon di ketinggian, yang dapat mempengaruhi suhu melalui atmosfer.
“Kami juga melibatkan gelombang VLF ke dalam model komputer untuk membantu memprediksi ‘cuaca ruang angkasa’ yang tidak hanya mempengaruhi satelit dan jaringan listrik, tetapi juga akurasi navigasi GPS dan komunikasi frekuensi tinggi radio dengan pesawat pada rute kutub.”
‘Aurora difus’, tidak sama halnya dengan ‘aurora diskrit’[3] yang dikenal sebagai cahaya kutub utara dan selatan. ‘Aurora diskrit’ terlihat seperti tirai cahaya warna-warni yang berkibar dan dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan aurora difus sangat redup tetapi lebih luas. ‘Aurora difus’, yang biasanya menyumbang tiga-perempat masukan energi ke bagian atas atmosfer di malam hari, bervariasi berdasarkan musim dan siklus matahari 11 tahunan.
Catatan:
1. Aurora difus: disebabkan ketika elektron terperangkap dalam medan magnet bumi yang disalurkan ke arah atmosfer kutub. Cahaya dipancarkan ketika elektron bertabrakan dengan atom netral pada bagian atas atmosfer. Aurora difus umumnya tidak terlihat dengan mata telanjang tetapi tertangkap dalam gambar satelit.
2. Gelombang paduan suara: Gelombang radio frekuensi sangat rendah yang berasal dari ruang angkasa dan pertama kali terdeteksi di daratan. Disebut demikian karena ketika diputar ulang melalui pengeras suara, mereka terdengar seperti paduan suara burung fajar.
3. Aurora diskrit: dikenal sebagai Aurora Borealis di Kutub Utara (di atas lingkaran Arktik) dan Aurora Australis di Kutub Selatan (di atas Antartika). Mereka tampak seperti berapi-api, tirai cahaya bergerak warna-warni yang melambai-lambai dan dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan aurora difus lebih redup tapi lebih luas dan dapat menyelimuti seluruh langit.
Sumber Artikel: antarctica.ac.uk
Referensi Jurnal:
Richard M. Thorne, Binbin Ni, Xin Tao, Richard B. Horne, Nigel P. Meredith. Scattering by chorus waves as the dominant cause of diffuse auroral precipitationNature, 2010; 467 (7318): 943 DOI:10.1038/nature09467